https://www.grid.id/read/04994545/gaya-hidup-sederhana-armand-hartono-yang-anut-filosofi-wong-jowo-walau-ayahnya-konglomerat-indonesia?page=all
Grid.ID - Biasanya gaya hidup anak seorang konglomerat hidup bergelimang kemewahan.Glamor, banyak uang dan sering bepergian keluar negeri untuk liburan tentu tak asing bagi anak seorang konglomerat.
Namun salah satu anak dari konglomerat ini bisa kita contoh kepribadiannya.
Dikutip dari Intisari, Jumat (9/11) Armand Wahyudi Hartono, putra bungsu dari pemilik PT Djarum Budi Hartono ini bisa dibilang hidup jauh dari kata
mewah.
Padahal jika mau, dirinya bisa hidup bergelimang harta tanpa takut kehabisan uang.
Armand memilih hidup hemat dan sederhana.Armand memang pribadi yang tak suka aneh-aneh.
Menukil dari Kompas.com, terhitung aset kekayaan Armand sebesar Rp 113 triliun berdasar dari catatan Forbes tahun 2015 lalu.
Malah pada saat ini pundi-pundi kekayaannya semakin bertambah.
Semakin bertambah kekayaannya semaki cermat dan hemat pula Armand menggunakan uangnya.
Bahkan hanya sekedar memakai pendingin ruangan, Armand punya cara hematnya sendiri.
"Saya selalu beruaha hemat. Mulai dari hal kecil seperti listrik, kita bisa saving. Nyalain AC sebentar saja. Kalau sudah dingin, begitu mau tidur, AC kita matikan."
Kan yang paling penting pas mau tidur saja, di tengah-tengah panas dikit tidak apa-apalah," kata Armand. Armand menilai sifat boros tidak ada manfaatnya sama sekali.
Justru dengan kita menabung dan berinvestasi maka jalan kesuksesan akan terbuka.Armand pun mempunyai prinsip yang ia namai SRI (Simpanan, Riset dan Investasi).
Dirinya juga menjunjung tinggi menabung uangnya terlebih dahulu sebelum berinvestasi.
"Kita harus punya simpanan, tabungan. Tabung dulu saja sembari melakukan riset kira-kira investasi apa yang aman dan menguntungkan. Setelah itu baru coba investasi," ujarnya.Saat berada di kantor, Armand juga jarang jaim (jaga image).
Meski menyandang eksekutif tinggi perusahaan, dirinya tak malu maka di kantin bersama karyawannya.
"Gaya hidup juga harus dijaga, sederhana saja. Sehari-hari di kantor ya saya makan di kantin lho. Kalau Anda nasabah besar, baru saja ajak makan di temoat yang bagus, bukan di kantin," kata Armand sembari tertawa.
Usut punya usut, suksesnya Armand tak lepas dari filosofi 'Wong Jowo' yang ia anut."Wong Jowo itu ngerti namanya cukup. Kita tidak perlu menunjukkan kalau usaha (bank) milik kita besar. Cukup tunjukkan kalau kita bisa menjadi institusi yang sehat dan terpercaya," pungkasnya.(*)
Family Business
Selasa, 26 Februari 2019
Aga Bakrie Menikah putri owner PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk
http://www.tribunnews.com/seleb/2018/02/21/berhasil-jadi-mantu-konglomerat-bakrie-wanita-ini-ternyata-bukan-orang-biasa-intip-foto-fotonya
Berhasil Jadi Mantu Konglomerat Bakrie, Wanita Ini Ternyata Bukan Orang Biasa, Intip Foto-fotonya
Rabu, 21 Februari 2018 20:46 WIB
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, tepatnya 9 Februari 2018, sepupu Ardi Bakrie, Aga Bakrie menikahi wanita cantik bernama Rosalindynata Gunawan.
Setelah akad nikah, keduanya melangsungkan resepsi mewah di Hotel Mulia pada tanggal 11 Februari 2018.Sebelum melangsungkan pernikahan, Aga dan Roslindynata telah bertunangan pada 5 November 2017 silam.
Aga Bakrie adalah putra dari Nirwan Bakrie, yang merupakan saudara kandung dari konglomerat Aburiezal Bakrie.
Dinikahi salah satu pewaris bisnis perusahaan Bakrie, tentu Rosalindynata Gunawan atau akrab disapa ling ling ini bukanlah sosok wanita biasa.Lingling merupakan putri dari Amir Gunawan dan Jessica Phandinata.
Amir Gunawan menjabat sebagai Direktur Independent dari PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk yang banyak membangun ruas jalan tol.
Ling Ling juga merupakan keponakan desainer ternama, Sebastian Gunawan.
Memiliki bakat seni, Ling Ling adalah alumni Fashion Design di Royal Melbourne Institute of Tecnology (RMIT), Australia.KIni ia berprofesi sebagai desainer dan menjabat sebagai Head Designer di My Bubble Girl, sebuah clothing linebaju anak-anak.
Ditelusuri TribunSolo.com di akun Instagram Ling Ling, ia dan aga telah berpacaran selama 4,5 tahun.Berasal dari keluarga ternama, pernikahan Aga dan Ling Ling pun digelar secara mewah.
Bahkan tamu-tamu yang hadir adalah sosok-sosok penting seperti Presiden Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono.Aga dan Ling Ling menjalani serangkaian acara, mereka sempat menjalani prosesi adat Melayu Deli dan juga China.
Keluarga Bakrie juga diketahui memiliki akar kuat dari Lampung, sehingga saat akad nikah Aga dan Ling Ling memakai pakaian adat Lampung. Seperti apa potret kemewahan pesta pernikahan Aga dan Ling Ling?
Berhasil Jadi Mantu Konglomerat Bakrie, Wanita Ini Ternyata Bukan Orang Biasa, Intip Foto-fotonya
Rabu, 21 Februari 2018 20:46 WIB
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, tepatnya 9 Februari 2018, sepupu Ardi Bakrie, Aga Bakrie menikahi wanita cantik bernama Rosalindynata Gunawan.
Setelah akad nikah, keduanya melangsungkan resepsi mewah di Hotel Mulia pada tanggal 11 Februari 2018.Sebelum melangsungkan pernikahan, Aga dan Roslindynata telah bertunangan pada 5 November 2017 silam.
Aga Bakrie adalah putra dari Nirwan Bakrie, yang merupakan saudara kandung dari konglomerat Aburiezal Bakrie.
Dinikahi salah satu pewaris bisnis perusahaan Bakrie, tentu Rosalindynata Gunawan atau akrab disapa ling ling ini bukanlah sosok wanita biasa.Lingling merupakan putri dari Amir Gunawan dan Jessica Phandinata.
Amir Gunawan menjabat sebagai Direktur Independent dari PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk yang banyak membangun ruas jalan tol.
Ling Ling juga merupakan keponakan desainer ternama, Sebastian Gunawan.
Memiliki bakat seni, Ling Ling adalah alumni Fashion Design di Royal Melbourne Institute of Tecnology (RMIT), Australia.KIni ia berprofesi sebagai desainer dan menjabat sebagai Head Designer di My Bubble Girl, sebuah clothing linebaju anak-anak.
Ditelusuri TribunSolo.com di akun Instagram Ling Ling, ia dan aga telah berpacaran selama 4,5 tahun.Berasal dari keluarga ternama, pernikahan Aga dan Ling Ling pun digelar secara mewah.
Bahkan tamu-tamu yang hadir adalah sosok-sosok penting seperti Presiden Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono.Aga dan Ling Ling menjalani serangkaian acara, mereka sempat menjalani prosesi adat Melayu Deli dan juga China.
Keluarga Bakrie juga diketahui memiliki akar kuat dari Lampung, sehingga saat akad nikah Aga dan Ling Ling memakai pakaian adat Lampung. Seperti apa potret kemewahan pesta pernikahan Aga dan Ling Ling?
Sabtu, 23 Februari 2019
The Heir of Lippo has built digital business empire
https://asia.nikkei.com/Spotlight/Asian-Family-Conglomerates/Lippo-tycoon-looks-to-young-gun-grandson-to-build-digital-empire
Lippo tycoon looks to young-gun grandson to build digital empire
JAKARTA -- Indonesian tycoon Mochtar Riady has been contemplating the question of succession for nearly 30 years. Part of the answer, he thinks, lies in Chinese folk wisdom about failure.
Nikkei recently caught up with the 89-year-old and asked about his plans for ceding control of his Lippo Group conglomerate, which has evolved over more than half a century from a domestic bank to a property and retail empire with assets reportedly exceeding $10 billion. The challenge for the next generation is to spearhead another reinvention, this time in health care and e-commerce.
As Mochtar's grandson and heir apparent, 33-year-old John Riady is expected to build on the group's successes -- and learn from brushes with controversy and defeat.
Mochtar, in the interview on July 5, brought up a Chinese tale of how eagles teach their young to fly by letting them go in the air. The moral of the story is to let one's offspring learn from mistakes. Then he bluntly declared that John had "failed" with an online shopping business.
John attempted to make his mark with MatahariMall.com, an online marketplace offering a wide range of women's fashions. The site was launched with great fanfare in 2015 but has struggled to build its user base. Meanwhile, rivals such as Tokopedia and Bukalapak have become unicorns -- privately held startups valued at $1 billion or more.
"I told John, 'You made a big mistake, because you always think about buyers but you never think of sellers," Mochtar said, referring to consumers and merchants. "That was your mistake.'"
MatahariMall.com counted 4.6 million monthly visitors in the second quarter of this year, according to iPrice Group, versus 111 million for Tokopedia and 85 million for Bukalapak.
But if Mochtar is unimpressed with his grandson's handling of the online mall, John seems to be making up for it with e-money.
In July, restaurants on the first floor of the Gandaria City shopping mall in southern Jakarta started accepting Ovo, an e-payment platform Lippo launched last year. In front of every eatery stands a purple Ovo signboard promising "10% cash back" and other deals.
The Ovo logo is also appearing more in Surabaya, Medan, Bandung and other cities. The group says its e-money can be used at 200 malls and 5,000 restaurants nationwide. By transaction volume and value, the operator says it is the No. 1 player in an Indonesian e-payments market that grew 434% in the first half of 2018.
Ovo symbolizes Lippo's path forward in more ways than one: It is a further step into digital technology and e-commerce for a group Mochtar founded in the 1950s. And it is run by John.
"Now John operates Ovo and [has found] success," Mochtar said. The founder argues it is just as important to keep merchants in mind in the e-payments business, since Ovo's future depends on how many stores introduce it.
Mochtar is showing few signs of slowing down. But he is pushing 90 and his second son, James Riady, who supervises Lippo's core operations in Indonesia, is 61. That is a year older than Mochtar was when he started thinking about passing the reins to his descendants.
Lippo is under pressure to put John and other third-generation family members in charge sooner rather than later. In relatively young Indonesia, where the median age is around 30, youth could be an advantage.
John, currently a Lippo Group director, is the eldest son of James, the group's CEO.
James is credited with expanding the domestic real estate business after the Asian financial crisis of 1997 spurred the group to divest its banking operations and transform into a property developer. He also led the conglomerate's forays into health care and education. But he has encountered his own tough lessons over the years.
Lippo Group kept a cautious distance from the Suharto government that ruled Indonesia for three decades. This stood in contrast to the approach of the late Sudono Salim, the founder of Salim Group and Mochtar's longtime business partner. Salim maintained close ties with Suharto's authoritarian regime.
Since Lippo kept Suharto at arm's length, it avoided significant damage from the strongman's downfall. Yet, in the U.S., Lippo became embroiled in a major political fundraising scandal.
The group acquired a bank in the state of Arkansas and the young James took charge of its management. In the process, he became acquainted with then-Governor and future President Bill Clinton. This connection would prove costly, both financially and in terms of Lippo's reputation.
James became involved in fundraising for Clinton and ran afoul of federal election law. In 2001, he pleaded guilty to a conspiracy to "defraud the United States by unlawfully reimbursing campaign donors with foreign corporate funds," according to a release by the Department of Justice. This brought an $8.6 million fine, a record for a campaign finance violation at the time.
The department said that in 1992, soon after James pledged $1 million to Clinton's presidential campaign, contributions made by another Lippo executive "were reimbursed with funds wired from a foreign Lippo Group entity into an account Riady maintained at LippoBank and then distributed to [the executive] in cash." The department said the contributions were made, in part, to secure "access, meetings and time with politicians, elected officials and other high-level government officials."
Looking back on the scandal, James said: "Power is both a blessing and curse. Since that time, I have attempted with all my heart to avoid politics."
To cope with the pressure of inheriting a huge conglomerate, James stressed the need to separate "vision and ambition." The line between them, he said, is often blurred.
In an English-language autobiography published in 2016, titled "Mochtar Riady: My Life Story," Mochtar writes that he began considering how to hand the reins to James and his third son, Stephen, when he turned 60 in 1989.
In the early 2000s, James started supervising Lippo Group's domestic businesses, including Lippo Karawaci, its core property developer. Stephen was put in charge of overseas operations based in Hong Kong and Singapore, and he is now executive chairman of OUE, a Singaporean real estate company Lippo acquired from United Overseas Bank in 2006.
Mochtar told Nikkei he is no longer active in the group's management, joking that he would not be receiving any phone calls during the interview. But he also said he still provides management "guidance."
Several insiders said Mochtar continues to play a pivotal part in making important decisions.
Day-to-day operations are largely left to a team of professional managers. "How can [we] manage the business with two sons and three grandsons?" the tycoon said, emphasizing the importance of recruiting the right people and separating ownership from management.
Lippo's diversification has helped it meet its own personnel needs.
Thanks in part to James, the group has become a major education player, running schools across all levels from elementary to university. Its Pelita Harapan University has become one of the country's top private institutions, with campuses in Jakarta suburbs, Surabaya and elsewhere. The university provides Lippo with a steady stream of new recruits.
The group also has an army of middle managers with extensive experience at overseas banks and other businesses. And its workforce is international, with over 300 team members from outside Indonesia.
Recruiting has had its pitfalls, too, however. Emirsyah Satar, a former CEO of national airline Garuda Indonesia, was brought in to serve as chairman of MatahariMall.com, only to wind up being investigated on suspicion of taking bribes at the carrier.
As for the Riady family's role in running things, Mochtar said it is "to look at balance sheets and give directions."
Of course, someone still has to give those directions.
In November 2016, James told Nikkei that family succession was not necessarily a given. "We must be mindful of succession but it is not automatic that our family members are qualified to take the jobs," he said. "We must have patience and learn discipline."
Even so, John is clearly being groomed to lead the way.
John was educated mainly in the U.S., receiving an MBA from the Wharton School of Business at the University of Pennsylvania and a juris doctor from Columbia University's law school. Last September, he became president commissioner of the group's health care business, Siloam International Hospitals -- the largest hospital chain in Indonesia. He also serves as commissioner of Matahari Department Store.
If and when John takes the helm, the question will be how to help new operations retain momentum and old ones regain it.
Under Stephen's leadership, OUE is expanding the international scope of its hospital business.
Last year, OUE Lippo Healthcare teamed up with China Merchants Group, a state-run Chinese company, to start operating hospitals in China. OUE also runs hospitals and nursing homes in Japan with trading house Itochu. Mochtar said the idea is to soak up expertise for efficient management that can be put to use in China.
But while the group's hospital operations and Ovo e-payment service are on the rise, its key property business is not.
The stock price of Lippo Karawaci is two-thirds lower than it was two years ago. In April, Moody's Investors Service downgraded the company's credit rating to B2 from B1.
Moody's expressed concern over Lippo Karawaci's operating cash flow, with analyst Jacintha Poh warning the flow would be dependent on "asset sales that are subject to delays and market conditions."
Another worry is Meikarta, an enormous Lippo urban development project on the outskirts of Jakarta.
Meikarta, a 273 trillion rupiah ($18.32 billion) investment and Lippo's biggest project yet, is to include condominiums and offices along with malls, schools, medical facilities and luxury hotels. In other words, Lippo is pouring all of its expertise -- property development, education and health care -- into a new city that will be home to 1 million residents.
The endeavor marks an important shift from high-end properties to more affordable housing for Indonesia's growing middle class. Local news reports, though, have suggested the project is stalled -- something Mochtar has strongly denied, insisting anyone can look at the construction site to see that work is progressing.
Tensions escalated on May 30, when a group of homebuyers in Manado, North Sulawesi Province, enraged by delays briefly held Lippo Karawaci President Ketut Budi Wijaya hostage, according to local reports.
The trouble adds an extra element of uncertainty as Lippo looks to marry its traditional businesses with the digital operations led by John Riady. Soon, like the eagles of Chinese folklore, John may have to prove he can fly.
The Nikkei Asian Review will begin publishing Mochtar Riady's "My personal history," an autobiographical series, on Monday.
Lippo tycoon looks to young-gun grandson to build digital empire
JAKARTA -- Indonesian tycoon Mochtar Riady has been contemplating the question of succession for nearly 30 years. Part of the answer, he thinks, lies in Chinese folk wisdom about failure.
Nikkei recently caught up with the 89-year-old and asked about his plans for ceding control of his Lippo Group conglomerate, which has evolved over more than half a century from a domestic bank to a property and retail empire with assets reportedly exceeding $10 billion. The challenge for the next generation is to spearhead another reinvention, this time in health care and e-commerce.
As Mochtar's grandson and heir apparent, 33-year-old John Riady is expected to build on the group's successes -- and learn from brushes with controversy and defeat.
Mochtar, in the interview on July 5, brought up a Chinese tale of how eagles teach their young to fly by letting them go in the air. The moral of the story is to let one's offspring learn from mistakes. Then he bluntly declared that John had "failed" with an online shopping business.
John attempted to make his mark with MatahariMall.com, an online marketplace offering a wide range of women's fashions. The site was launched with great fanfare in 2015 but has struggled to build its user base. Meanwhile, rivals such as Tokopedia and Bukalapak have become unicorns -- privately held startups valued at $1 billion or more.
"I told John, 'You made a big mistake, because you always think about buyers but you never think of sellers," Mochtar said, referring to consumers and merchants. "That was your mistake.'"
MatahariMall.com counted 4.6 million monthly visitors in the second quarter of this year, according to iPrice Group, versus 111 million for Tokopedia and 85 million for Bukalapak.
But if Mochtar is unimpressed with his grandson's handling of the online mall, John seems to be making up for it with e-money.
In July, restaurants on the first floor of the Gandaria City shopping mall in southern Jakarta started accepting Ovo, an e-payment platform Lippo launched last year. In front of every eatery stands a purple Ovo signboard promising "10% cash back" and other deals.
The Ovo logo is also appearing more in Surabaya, Medan, Bandung and other cities. The group says its e-money can be used at 200 malls and 5,000 restaurants nationwide. By transaction volume and value, the operator says it is the No. 1 player in an Indonesian e-payments market that grew 434% in the first half of 2018.
Ovo symbolizes Lippo's path forward in more ways than one: It is a further step into digital technology and e-commerce for a group Mochtar founded in the 1950s. And it is run by John.
"Now John operates Ovo and [has found] success," Mochtar said. The founder argues it is just as important to keep merchants in mind in the e-payments business, since Ovo's future depends on how many stores introduce it.
Mochtar is showing few signs of slowing down. But he is pushing 90 and his second son, James Riady, who supervises Lippo's core operations in Indonesia, is 61. That is a year older than Mochtar was when he started thinking about passing the reins to his descendants.
Lippo is under pressure to put John and other third-generation family members in charge sooner rather than later. In relatively young Indonesia, where the median age is around 30, youth could be an advantage.
John, currently a Lippo Group director, is the eldest son of James, the group's CEO.
James is credited with expanding the domestic real estate business after the Asian financial crisis of 1997 spurred the group to divest its banking operations and transform into a property developer. He also led the conglomerate's forays into health care and education. But he has encountered his own tough lessons over the years.
Lippo Group kept a cautious distance from the Suharto government that ruled Indonesia for three decades. This stood in contrast to the approach of the late Sudono Salim, the founder of Salim Group and Mochtar's longtime business partner. Salim maintained close ties with Suharto's authoritarian regime.
Since Lippo kept Suharto at arm's length, it avoided significant damage from the strongman's downfall. Yet, in the U.S., Lippo became embroiled in a major political fundraising scandal.
The group acquired a bank in the state of Arkansas and the young James took charge of its management. In the process, he became acquainted with then-Governor and future President Bill Clinton. This connection would prove costly, both financially and in terms of Lippo's reputation.
James became involved in fundraising for Clinton and ran afoul of federal election law. In 2001, he pleaded guilty to a conspiracy to "defraud the United States by unlawfully reimbursing campaign donors with foreign corporate funds," according to a release by the Department of Justice. This brought an $8.6 million fine, a record for a campaign finance violation at the time.
The department said that in 1992, soon after James pledged $1 million to Clinton's presidential campaign, contributions made by another Lippo executive "were reimbursed with funds wired from a foreign Lippo Group entity into an account Riady maintained at LippoBank and then distributed to [the executive] in cash." The department said the contributions were made, in part, to secure "access, meetings and time with politicians, elected officials and other high-level government officials."
Looking back on the scandal, James said: "Power is both a blessing and curse. Since that time, I have attempted with all my heart to avoid politics."
To cope with the pressure of inheriting a huge conglomerate, James stressed the need to separate "vision and ambition." The line between them, he said, is often blurred.
In an English-language autobiography published in 2016, titled "Mochtar Riady: My Life Story," Mochtar writes that he began considering how to hand the reins to James and his third son, Stephen, when he turned 60 in 1989.
In the early 2000s, James started supervising Lippo Group's domestic businesses, including Lippo Karawaci, its core property developer. Stephen was put in charge of overseas operations based in Hong Kong and Singapore, and he is now executive chairman of OUE, a Singaporean real estate company Lippo acquired from United Overseas Bank in 2006.
Mochtar told Nikkei he is no longer active in the group's management, joking that he would not be receiving any phone calls during the interview. But he also said he still provides management "guidance."
Several insiders said Mochtar continues to play a pivotal part in making important decisions.
Day-to-day operations are largely left to a team of professional managers. "How can [we] manage the business with two sons and three grandsons?" the tycoon said, emphasizing the importance of recruiting the right people and separating ownership from management.
Lippo's diversification has helped it meet its own personnel needs.
Thanks in part to James, the group has become a major education player, running schools across all levels from elementary to university. Its Pelita Harapan University has become one of the country's top private institutions, with campuses in Jakarta suburbs, Surabaya and elsewhere. The university provides Lippo with a steady stream of new recruits.
The group also has an army of middle managers with extensive experience at overseas banks and other businesses. And its workforce is international, with over 300 team members from outside Indonesia.
Recruiting has had its pitfalls, too, however. Emirsyah Satar, a former CEO of national airline Garuda Indonesia, was brought in to serve as chairman of MatahariMall.com, only to wind up being investigated on suspicion of taking bribes at the carrier.
As for the Riady family's role in running things, Mochtar said it is "to look at balance sheets and give directions."
Of course, someone still has to give those directions.
In November 2016, James told Nikkei that family succession was not necessarily a given. "We must be mindful of succession but it is not automatic that our family members are qualified to take the jobs," he said. "We must have patience and learn discipline."
Even so, John is clearly being groomed to lead the way.
John was educated mainly in the U.S., receiving an MBA from the Wharton School of Business at the University of Pennsylvania and a juris doctor from Columbia University's law school. Last September, he became president commissioner of the group's health care business, Siloam International Hospitals -- the largest hospital chain in Indonesia. He also serves as commissioner of Matahari Department Store.
If and when John takes the helm, the question will be how to help new operations retain momentum and old ones regain it.
Under Stephen's leadership, OUE is expanding the international scope of its hospital business.
Last year, OUE Lippo Healthcare teamed up with China Merchants Group, a state-run Chinese company, to start operating hospitals in China. OUE also runs hospitals and nursing homes in Japan with trading house Itochu. Mochtar said the idea is to soak up expertise for efficient management that can be put to use in China.
But while the group's hospital operations and Ovo e-payment service are on the rise, its key property business is not.
The stock price of Lippo Karawaci is two-thirds lower than it was two years ago. In April, Moody's Investors Service downgraded the company's credit rating to B2 from B1.
Moody's expressed concern over Lippo Karawaci's operating cash flow, with analyst Jacintha Poh warning the flow would be dependent on "asset sales that are subject to delays and market conditions."
Another worry is Meikarta, an enormous Lippo urban development project on the outskirts of Jakarta.
Meikarta, a 273 trillion rupiah ($18.32 billion) investment and Lippo's biggest project yet, is to include condominiums and offices along with malls, schools, medical facilities and luxury hotels. In other words, Lippo is pouring all of its expertise -- property development, education and health care -- into a new city that will be home to 1 million residents.
The endeavor marks an important shift from high-end properties to more affordable housing for Indonesia's growing middle class. Local news reports, though, have suggested the project is stalled -- something Mochtar has strongly denied, insisting anyone can look at the construction site to see that work is progressing.
Tensions escalated on May 30, when a group of homebuyers in Manado, North Sulawesi Province, enraged by delays briefly held Lippo Karawaci President Ketut Budi Wijaya hostage, according to local reports.
The trouble adds an extra element of uncertainty as Lippo looks to marry its traditional businesses with the digital operations led by John Riady. Soon, like the eagles of Chinese folklore, John may have to prove he can fly.
The Nikkei Asian Review will begin publishing Mochtar Riady's "My personal history," an autobiographical series, on Monday.
Makanan Favorit Pewaris Lippo Group, John Riady
http://sajiansedap.grid.id/read/10967411/john-riady-jadi-cucu-pengusaha-terkaya-di-indonesia-kebiasaan-makannya-sulit-dipercaya
John Riady Jadi Cucu Pengusaha Terkaya di Indonesia, Kebiasaan Makannya Sulit Dipercaya!
sajiansedap.id – Nama John Riady mungkin terdengar asing di telinga kita.
Namun, ketika mendengar nama kakek atau ayahnya pasti tak asing lagi.
John Riady adalah cucu pengusaha, Mochtar Riady, dan Ia merupakan anak dari James Riady.
Kekayaan kakeknya mencapai 2,7 miliar USD, sehingga Mochtar Riady pun dinobatkan sebagai orang terkaya ke 9 di Indonesia.
John Riady lahir dari keluarga pengusaha kawakan yang menguasai gurita bisnis Lippo Group.
Kini, dirinya menjabat sebagai Direktur Lippo Group.
Selain keturunan konglomerat, gelar profesor hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Indonesia pun semakin menunjukkan bahwa John Riady bukan sosok orang sembarangan.
Sebelum menjadi direktur, John Riady pernah bekerja sebagai editor di media nasional berbahasa Inggris, Jakarta Globe.
Meskipun datang dari garis keturunan konglomerat, gaya hidup John ternyata tak seperti yang kita bayangkan.
John mengaku bahwa sejak kecil dirinya telah diarahkan untuk bekerja keras, bahkan untuk mengisi waktu luang setiap liburan sekolah, John menghabiskan waktu dengan menjalani magang di sejumlah perusahan, salah satunya di restoran cepat saji.
Dilansir dari Kompas.com, John sempat mengatakan, "Setiap liburan sekolah saya bekerja, saya sempat kerja di MCD pada tahun 1999, dan beberapa perusahan lain."
Ia mengaku sangat senang menjalani magang di sejumlah perusahan tersebut.
Pasalnya, dari tempat itu dirinya mendapat pengalaman baru dan kenal banyak orang dari berbagai kalangan.
Selain itu, John juga bisa merasakan bagaimana menjadi seorang pekerja.
Selain terbiasa untuk bekerja keras, pola hidup dan kebiasaan makan John Riady membuat publik tak percaya.
Bagaimana tidak, sebagai cucu dari konglomerat kenamaan, pola hidup dan kebiasaan makannya sangat sederhana.
John mengaku lebih suka menyantap masakan Padang di rumah makan Padang daripada menyantap makanan di restoran mahal atau tempat makan hotel bintang lima.
Ia mengatakan, "Saya lebih suka makan masakan Padang."
Bahkan, Direktur Lippo Group ini beberapa kali naik angkutan umum, yakni ojek untuk mencapai tempat yang ditujunya guna mengindari kemacetan Jakarta yang cukup membuat stres.
"Naik ojek juga saya biasa, lebih murah juga kan," terang John.
Selain makan di rumah makan Padang dan naik ojek menuju tempat tujuannya, John pun mengaku cukup berhemat di rumahnya dengan mengurangi penggunaan AC.
Sementara itu, untuk usahanya saat ini John menuturkan bahwa usaha yang dijalankan merupakan hasil kerja keras keluarga.
Ia sebagai bagian dari keluarga hanya menjalankan amanah.
Oleh sebab itu, Ia pun akan memberikan yang terbaik.
"Saya bersyukur terlahir dari keluarga berada, ini merupakan amanah yang harus saya pegang,” tandas John.
John Riady Jadi Cucu Pengusaha Terkaya di Indonesia, Kebiasaan Makannya Sulit Dipercaya!
sajiansedap.id – Nama John Riady mungkin terdengar asing di telinga kita.
Namun, ketika mendengar nama kakek atau ayahnya pasti tak asing lagi.
John Riady adalah cucu pengusaha, Mochtar Riady, dan Ia merupakan anak dari James Riady.
Kekayaan kakeknya mencapai 2,7 miliar USD, sehingga Mochtar Riady pun dinobatkan sebagai orang terkaya ke 9 di Indonesia.
John Riady lahir dari keluarga pengusaha kawakan yang menguasai gurita bisnis Lippo Group.
Kini, dirinya menjabat sebagai Direktur Lippo Group.
Selain keturunan konglomerat, gelar profesor hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Indonesia pun semakin menunjukkan bahwa John Riady bukan sosok orang sembarangan.
Sebelum menjadi direktur, John Riady pernah bekerja sebagai editor di media nasional berbahasa Inggris, Jakarta Globe.
Meskipun datang dari garis keturunan konglomerat, gaya hidup John ternyata tak seperti yang kita bayangkan.
John mengaku bahwa sejak kecil dirinya telah diarahkan untuk bekerja keras, bahkan untuk mengisi waktu luang setiap liburan sekolah, John menghabiskan waktu dengan menjalani magang di sejumlah perusahan, salah satunya di restoran cepat saji.
Dilansir dari Kompas.com, John sempat mengatakan, "Setiap liburan sekolah saya bekerja, saya sempat kerja di MCD pada tahun 1999, dan beberapa perusahan lain."
Ia mengaku sangat senang menjalani magang di sejumlah perusahan tersebut.
Pasalnya, dari tempat itu dirinya mendapat pengalaman baru dan kenal banyak orang dari berbagai kalangan.
Selain itu, John juga bisa merasakan bagaimana menjadi seorang pekerja.
Selain terbiasa untuk bekerja keras, pola hidup dan kebiasaan makan John Riady membuat publik tak percaya.
Bagaimana tidak, sebagai cucu dari konglomerat kenamaan, pola hidup dan kebiasaan makannya sangat sederhana.
John mengaku lebih suka menyantap masakan Padang di rumah makan Padang daripada menyantap makanan di restoran mahal atau tempat makan hotel bintang lima.
Ia mengatakan, "Saya lebih suka makan masakan Padang."
Bahkan, Direktur Lippo Group ini beberapa kali naik angkutan umum, yakni ojek untuk mencapai tempat yang ditujunya guna mengindari kemacetan Jakarta yang cukup membuat stres.
"Naik ojek juga saya biasa, lebih murah juga kan," terang John.
Selain makan di rumah makan Padang dan naik ojek menuju tempat tujuannya, John pun mengaku cukup berhemat di rumahnya dengan mengurangi penggunaan AC.
Sementara itu, untuk usahanya saat ini John menuturkan bahwa usaha yang dijalankan merupakan hasil kerja keras keluarga.
Ia sebagai bagian dari keluarga hanya menjalankan amanah.
Oleh sebab itu, Ia pun akan memberikan yang terbaik.
"Saya bersyukur terlahir dari keluarga berada, ini merupakan amanah yang harus saya pegang,” tandas John.
Jumat, 22 Februari 2019
Axton Salim invest di start up
https://katadata.co.id/berita/2017/07/29/axton-penerus-kerajaan-bisnis-salim-gencar-beternak-startup
Bisnis digital dan startup lazim digarap generasi penerus keluarga konglomerat di Indonesia: Martin Hartono dari Grup Djarum, Adi Sariaatmadja (PT Elang Mahkota Teknologi) dan John Riady (Grup Lippo)
Axton Salim menjadi pusat perhatian saat peresmian Block71 Jakarta di lantai 8 Ariobimo Sentral Building, Kuningan, Jakarta, Jumat (28/7) siang. Calon penerus kerajaan bisnis Grup Salim ini tengah memperkenalkan bisnis startup (usaha perintis) dan digital yang dikelola keluarganya.
Anak dari Anthoni Salim atau generasi ketiga keluarga konglomerat Liem Sioe Liong ini menjadi inisiator startup Block71, fasilitas inkubator hasil kerja sama Grup Salim dan National University of Singapore (NUS) Enterprise. Bangunan seluas 1.500 meter persegi di kawasan Kuningan tersebut disiapkan sebagai penghubung antara pelaku startup Indonesia dan Singapura.
"Jaringan dan pengalaman Grup Salim akan memfasilitasi masuknya startup dan inovasi ke pasar lokal dan memberi manfaat bagi masyarakat," kata Axton saat peresmian Block71 yang dihadiri oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan dan Industri Singapura Lim Hng Kiang.
Ia berharap, Block71 dapat membawa pasar Indonesia menuju internasional. Sebab, Block71 sebelumnya telah ada di beberapa negara, seperti Singapura dan San Fransisco. Block71 juga akan didirikan di Suzhou, Cina dalam waktu dekat.
"Kalau untuk startup Indonesia itu kami lihat banyak ide-ide baru. Jadi kami bekerja sama dengan NUS Enterprise agar bisa membawa pasar Indonesia ke Singapura, Cina, dan San Fransisco," kata Axton.
Pria berusia 38 tahun ini pun mengungkapkan, potensi bisnis startup di Indonesia yang cukup besar, menjadikan alasan Grup Salim berinvestasi. "I think opportunity banyak, honestly opportunity banyak. That's why we start investing."
(Baca: Salim Group-NUS Enterprise Bangun Inkubator Start-up di Jakarta)
Selain Block71, Grup Salim juga berinvestasi di startup Popbox Asia Services di Singapura. Popbox menyediakan jasa loker yang memberikan layanan mengirim, menerima, dan mengembalikan paket barang. "Kami masuknya lebih ke value chain. Popbox membantu e-commerce," kata Axton.
Ia terlihat fasih memaparkan seluk-beluk startup dan potensi bisnis digital. Ladang bisnis ini pula yang lazim digarap generasi penerus keluarga konglomerat di Indonesia, antara lain Martin Hartono dari Grup Djarum, Adi Sariaatmadja (PT Elang Mahkota Teknologi) dan John Riady (Grup Lippo).
Yang mungkin membedakannya dengan generasi tersebut adalah Axton sebelumnya sudah terjun dan merambah beberapa sektor usaha lain, khususnya makanan dan bahan pangan yang menjadi andalan bisnis Salim. Axton mendampingi Anthoni saat pencatatan saham perdana anak perusahaan Indofood, yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2010.
Peraih gelar Bachelor of Science Business Administration dari University of Colorado, Amerika Serikat, tahun 2002 ini memang menduduki posisi Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk sejak 2009, dan juga sederet posisi direksi di anak perusahaan.
Dari informasi Linkedin, Axton menjabat diretur di PT Indolakto and Pacsari Pte Ltd, PT Indofood Asahi Sukses Beverage dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Ia pun mendapat kepercayaan sebagai komisaris PT Salim Ivomas Pratama Tbk, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk dan PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia.
Axton pernah menjadi pusat perhatian di media sosial ketika mengunggah foto Chitato rasa Indomie Goreng di akun Twitter pada awal 2016 lalu. Ketika itu produk Chitato rasa terbaru tersebut belum beredar di pasaran.
(Baca: Penjualan Produsen Indomie Turun Akibat Kompetisi Ketat dan Daya Beli)
Kini, Axton yang pernah mencicipi dunia investment banking dengan bekerja di Credit Suisse setelah lulus kuliah tersebut terjun menggarap bisnis digital dan mengelola startup. Lahan bisnis ini pun boleh dibilang belum lama digarap oleh Grup Salim.
Di awal tahun ini, Grup Salim membentuk usaha patungan dengan perusahaan asal Jepang, Liquid Inc., untuk mengembangkan layanan pembayaran menggunakan otorisasi sidik jari. Layanan ini rencananya akan diujicobakan kepada 500 ribu karyawan Grup Salim tahun ini.
Jika berhasil, konsumen akan semakin mudah berbelanja di gerai-gerai retail tanpa perlu membawa uang tunai atau kartu kredit.
Lewat akuisisi Bank Ina Perdana beberapa bulan lalu, Grup Salim juga akan mengembangkan layanan digital payment dan digital banking. Transfer dana dan pinjaman bisa dilakukan melalui jaringan Indomaret, dengan 14 ribu gerainya di seluruh Indonesia, yang berfungsi seperti cabang bank.
Berhasil tidaknya menggarap ladang usaha baru tersebut terletak di tangan penerus kerajaan bisnis Salim. Liem Sioe Liong memiliki empat anak, yakni Albert Halim, Andree Halim, Anthoni Salim, dan Mira Salim.
Namun, tak semua anak Liem tertarik terjun ke dunia bisnis, begitu juga dengan para cucunya. Axton merupakan satu dari 14 cucu Liem yang disebut paling aktif di dunia bisnis, selain Lin Ke Jian, anak dari Andre Halim.
“Di antara generasi kedua keluarga Salim, Anthoni Salim dan Andree Halim yang menonjol, sedangkan pada generasi ketiga yang menonjol adalah Axton Salim dan Lin Ke Jian,” ujar Soetoyo, mantan eksekutif senior Grup Salim, seperti dikutip dari Bisnis Indonesia, 2012.
Anthoni disebut-sebut menyelamatkan Grup Salim ketika krisis ekonomi 1998. Ia yang menjabat Presiden Direktur Indofood, tercatat sebagai orang terkaya ketiga di Indonesia versi Forbes 2016 dengan jumlah harta US$ 5,7 miliar atau sekitar Rp 76,9 triliun.
Kini, Axton dengan deretan jabatan strategisnya, mengikuti jejak sang ayah memegang kendali bisnis Grup Salim beserta ladang bisnis baru yang harus dirambahnya.
Bisnis digital dan startup lazim digarap generasi penerus keluarga konglomerat di Indonesia: Martin Hartono dari Grup Djarum, Adi Sariaatmadja (PT Elang Mahkota Teknologi) dan John Riady (Grup Lippo)
Axton Salim menjadi pusat perhatian saat peresmian Block71 Jakarta di lantai 8 Ariobimo Sentral Building, Kuningan, Jakarta, Jumat (28/7) siang. Calon penerus kerajaan bisnis Grup Salim ini tengah memperkenalkan bisnis startup (usaha perintis) dan digital yang dikelola keluarganya.
Anak dari Anthoni Salim atau generasi ketiga keluarga konglomerat Liem Sioe Liong ini menjadi inisiator startup Block71, fasilitas inkubator hasil kerja sama Grup Salim dan National University of Singapore (NUS) Enterprise. Bangunan seluas 1.500 meter persegi di kawasan Kuningan tersebut disiapkan sebagai penghubung antara pelaku startup Indonesia dan Singapura.
"Jaringan dan pengalaman Grup Salim akan memfasilitasi masuknya startup dan inovasi ke pasar lokal dan memberi manfaat bagi masyarakat," kata Axton saat peresmian Block71 yang dihadiri oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan dan Industri Singapura Lim Hng Kiang.
Ia berharap, Block71 dapat membawa pasar Indonesia menuju internasional. Sebab, Block71 sebelumnya telah ada di beberapa negara, seperti Singapura dan San Fransisco. Block71 juga akan didirikan di Suzhou, Cina dalam waktu dekat.
"Kalau untuk startup Indonesia itu kami lihat banyak ide-ide baru. Jadi kami bekerja sama dengan NUS Enterprise agar bisa membawa pasar Indonesia ke Singapura, Cina, dan San Fransisco," kata Axton.
Pria berusia 38 tahun ini pun mengungkapkan, potensi bisnis startup di Indonesia yang cukup besar, menjadikan alasan Grup Salim berinvestasi. "I think opportunity banyak, honestly opportunity banyak. That's why we start investing."
(Baca: Salim Group-NUS Enterprise Bangun Inkubator Start-up di Jakarta)
Selain Block71, Grup Salim juga berinvestasi di startup Popbox Asia Services di Singapura. Popbox menyediakan jasa loker yang memberikan layanan mengirim, menerima, dan mengembalikan paket barang. "Kami masuknya lebih ke value chain. Popbox membantu e-commerce," kata Axton.
Ia terlihat fasih memaparkan seluk-beluk startup dan potensi bisnis digital. Ladang bisnis ini pula yang lazim digarap generasi penerus keluarga konglomerat di Indonesia, antara lain Martin Hartono dari Grup Djarum, Adi Sariaatmadja (PT Elang Mahkota Teknologi) dan John Riady (Grup Lippo).
Yang mungkin membedakannya dengan generasi tersebut adalah Axton sebelumnya sudah terjun dan merambah beberapa sektor usaha lain, khususnya makanan dan bahan pangan yang menjadi andalan bisnis Salim. Axton mendampingi Anthoni saat pencatatan saham perdana anak perusahaan Indofood, yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2010.
Peraih gelar Bachelor of Science Business Administration dari University of Colorado, Amerika Serikat, tahun 2002 ini memang menduduki posisi Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk sejak 2009, dan juga sederet posisi direksi di anak perusahaan.
Dari informasi Linkedin, Axton menjabat diretur di PT Indolakto and Pacsari Pte Ltd, PT Indofood Asahi Sukses Beverage dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Ia pun mendapat kepercayaan sebagai komisaris PT Salim Ivomas Pratama Tbk, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk dan PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia.
Axton pernah menjadi pusat perhatian di media sosial ketika mengunggah foto Chitato rasa Indomie Goreng di akun Twitter pada awal 2016 lalu. Ketika itu produk Chitato rasa terbaru tersebut belum beredar di pasaran.
(Baca: Penjualan Produsen Indomie Turun Akibat Kompetisi Ketat dan Daya Beli)
Kini, Axton yang pernah mencicipi dunia investment banking dengan bekerja di Credit Suisse setelah lulus kuliah tersebut terjun menggarap bisnis digital dan mengelola startup. Lahan bisnis ini pun boleh dibilang belum lama digarap oleh Grup Salim.
Di awal tahun ini, Grup Salim membentuk usaha patungan dengan perusahaan asal Jepang, Liquid Inc., untuk mengembangkan layanan pembayaran menggunakan otorisasi sidik jari. Layanan ini rencananya akan diujicobakan kepada 500 ribu karyawan Grup Salim tahun ini.
Jika berhasil, konsumen akan semakin mudah berbelanja di gerai-gerai retail tanpa perlu membawa uang tunai atau kartu kredit.
Lewat akuisisi Bank Ina Perdana beberapa bulan lalu, Grup Salim juga akan mengembangkan layanan digital payment dan digital banking. Transfer dana dan pinjaman bisa dilakukan melalui jaringan Indomaret, dengan 14 ribu gerainya di seluruh Indonesia, yang berfungsi seperti cabang bank.
Berhasil tidaknya menggarap ladang usaha baru tersebut terletak di tangan penerus kerajaan bisnis Salim. Liem Sioe Liong memiliki empat anak, yakni Albert Halim, Andree Halim, Anthoni Salim, dan Mira Salim.
Namun, tak semua anak Liem tertarik terjun ke dunia bisnis, begitu juga dengan para cucunya. Axton merupakan satu dari 14 cucu Liem yang disebut paling aktif di dunia bisnis, selain Lin Ke Jian, anak dari Andre Halim.
“Di antara generasi kedua keluarga Salim, Anthoni Salim dan Andree Halim yang menonjol, sedangkan pada generasi ketiga yang menonjol adalah Axton Salim dan Lin Ke Jian,” ujar Soetoyo, mantan eksekutif senior Grup Salim, seperti dikutip dari Bisnis Indonesia, 2012.
Anthoni disebut-sebut menyelamatkan Grup Salim ketika krisis ekonomi 1998. Ia yang menjabat Presiden Direktur Indofood, tercatat sebagai orang terkaya ketiga di Indonesia versi Forbes 2016 dengan jumlah harta US$ 5,7 miliar atau sekitar Rp 76,9 triliun.
Kini, Axton dengan deretan jabatan strategisnya, mengikuti jejak sang ayah memegang kendali bisnis Grup Salim beserta ladang bisnis baru yang harus dirambahnya.
Raline shah dan Michael S
https://kepo.kapanlagi.com/raline-shah-pacari-michael-soeryadjaya-cucu-pendiri-grup-astra-1802075.html
Kapanlagi Kepo - Baru-baru ini, video Raline Shah sedang memeluk dan dicium oleh seorang cowok berwajah Tionghoa ramai beredar di linimasa. Belakangan, cowok ganteng itu diketahui sebagai Michael Soeryadjaja.
Bagi sebagian orang, nama Michael memang belum familiar. Namun ia cukup terkenal di kalangan jetset Indonesia, karena Michael adalah cucu dari pendiri grup Astra, William Soeryadjaja.
Hal ini terungkap lewat pembicaraan netizen di akun @lamiscorner. Beberapa orang mengenali Michael sebagai salah satu pewaris grup perusahaan besar di Indonesia ini.
Acara ulang tahun yang dihadiri Raline memang ultah Michael. Yang mana malam itu Michael memberikan ciuman manis di kening Raline sebelum meniup lilin di kue ulang tahunnya.
Kapanlagi Kepo - Baru-baru ini, video Raline Shah sedang memeluk dan dicium oleh seorang cowok berwajah Tionghoa ramai beredar di linimasa. Belakangan, cowok ganteng itu diketahui sebagai Michael Soeryadjaja.
Bagi sebagian orang, nama Michael memang belum familiar. Namun ia cukup terkenal di kalangan jetset Indonesia, karena Michael adalah cucu dari pendiri grup Astra, William Soeryadjaja.
Hal ini terungkap lewat pembicaraan netizen di akun @lamiscorner. Beberapa orang mengenali Michael sebagai salah satu pewaris grup perusahaan besar di Indonesia ini.
Acara ulang tahun yang dihadiri Raline memang ultah Michael. Yang mana malam itu Michael memberikan ciuman manis di kening Raline sebelum meniup lilin di kue ulang tahunnya.
Rabu, 20 Februari 2019
PERNIKAHAN ANGGOTA KELUARGA DJARUM DENGAN ANGGOTA SALIM GROUP
https://www.jpnn.com/news/pesta-pernikahan-victor-hartono-putra-pertama-konglomerat-grup-djarum?page=1
Pesta Pernikahan Victor Hartono, Putra Pertama Konglomerat Grup Djarum
Resepsi pernikahan Victor Hartono dan Amelia Santoso di Hotel Indonesia Kempinski, tadi malam (1/3) begitu mewah dan glamour. Maklum, kedua mempelai merupakan putra-putri konglomerat Indonesia.
HENNY GALLA- Jakarta
Ada yang berbeda di jantung ibu kota akhir pekan kemarin (1/3). Di tengah ramainya Jalan M.H. Thamrin, ratusan karangan bunga warna-warni ungkapan kebahagiaan berderet di sepanjang kompleks Hotel Indonesia Kempinski.
Kemeriahaan tak hanya terasa di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI). Namun aura glamor makin nampak di Ballroom Lt 11 HI Kempinski. Begitu masuk ke dalam koridor ballroom, wangi ribuan buket mawar putih dan ungu sangat semerbak.
Sementara di ruangan utama, nuansa musim dingin makin kental dengan ornamen dedaunan oak yang tertutup salju. Cahaya lampu biru keunguan juga menambah kesejukan. Di sudut depan ruangan, terdapat podium yang sangat luas. Di atasnya kursi pelaminan bernuansa krem, dengan kue tart setinggi dua meter di sisi kirinya.
Ide awalnya tema pernikahan di Dubai. Namun kami beri sentuhan lain supaya lebih spesial dan berbeda," ungkap salah satu panitia yang enggan disebut namanya kepada Jawa Pos.
Ya, tadi malam merupakan salah satu resepsi pernikahan Victor Hartono dengan Amelia Santoso. Victor adalah chief operating officer PT Djarum, yang tak lain adalah putra sulung orang terkaya di Indonesia, Robert Budi Hartono, sang pembangun imperium bisnis rokok Djarum Kudus. Sementara itu, Amelia Santoso merupakan putri dari Benny Setiawan Santoso. Benny termasuk orang penting di gurita bisnis Grup Salim. Posisi yang diduduki Benny kini, salah satunya, sebagai komisaris PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Tak heran jika pesta pernikahan yang menggabungkan dua raksasa bisnis itu sangat mewah dan glamor. Persiapan pesta sudah dilakukan sejak siang hari. Di mana tak kurang dari seratus kru pesta dikerahkan untuk menata lampu-lampu, bunga-bunga, hingga makanan yang mengunggulkan cita rasa Indonesia. Seperti pindang kudus, nasi jamblang, serta udang galah.
Kesibukan persiapan itu harus diselesaikan tepat sebelum pukul tujuh malam. Agar pesta resepsi berlangsung kondusif, maka di dua pintu masuk ballroom dijaga ketat puluhan sekuriti yang melakukan pemindaian undangan. Ribuan pria berjas hitam dan perempuan dengan gaun-gaun gemerlap pun masuk dan menyambut kedatangan Victor dan Amelia.
Usai itu, tampak para tamu undangan memadati ruangan seluas 2.700 meter persegi itu. Selain menikmati menu-menu yang disajikan tak kunjung henti, para tamu juga dihibur pertunjukan sirkus di panggung seluas 100 meter persegi. Tak hanya atraksi, sirkus yang didatangkan dari luar negeri itu juga menghibur undangan dengan nyanyian dan gaya ala Elvis Presley, hingga musik modern seperti lagu Applause milik Lady Gaga.
Sementara itu tamu undangan lain mengerumuni panggung sirkus, tampak di sisi kanan ballroom adalah tempat para undangan VIP. Dalam segmen itu, setidaknya disediakan 200 kursi yang mengitari 20 meja bundar.
Terlihat anggota keluarga Grup Salim, seperti Anthony Salim yang berada di lingkaran meja terdepan. Sedangkan petinggi anak perusahaan Grup Djarum, seperti Presiden Direktur Bank BCA Jahja Setiaatmadja hingga Komisaris Independen Bank BCA Raden Pardede asyik bercanda dengan tamu VIP lainnya.
Salah satu tamu VIP yang datang dari kalangan pemerintah malam itu adalah Menteri Perindustrian M.S. Hidayat. "Pernikahannya begitu megah!," M.S. ungkap Hidayat kepada Jawa Pos, lantas masuk ke area undangan VIP.
Selain Hidayat, kalangan pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tampak Di antaranya Direktur Utama PT Garuda Indonesia (persero) Tbk Emirsyah Satar. ‚
"Saya kenal dekat dengan ayah Victor (Budi Hartono, Red). Terus terang, kami sangat bahagia bisa menjadi salah satu saksi pesta pernikahan ini," tuturnya.
Lantaran ada keperluan lain, Emirsyah tak cukup lama menghadiri pesta tersebut. Hanya sekitar 15 menit setelah pesta dibuka.
Sejatinya resepsi tadi malam bukan yang pertama. Sebab, rangkaian pesta pernikahan Victor dan Amelia dilakukan sampai lima kali di dua tempat yang berbeda. Pesta pertama digelar pada Sabtu (22/2) pekan lalu, yang mengundang banyak kolega dan teman-teman Victor.
"Saya datang hari itu, sepertinya khusus untuk teman-teman yang masih tergolong muda," jelas Michael Hermawan,
deputy CEO MarkPlus Inc, yang tak lain putra sulung Hermawan Kartajaya, melalui pesan pendek.
Kemudian, pada Jumat (28/2) juga digelar pesta yang mengundang segmen umum. Di antaranya petinggi organisasi atau komunitas olahraga yang ditekuni Victor. Seperti diketahui, kecintaannya pada bulu tangkis membuat pria lulusan University of California ini juga fokus sebagai Presiden Direktur Djarum Foundation.
Saat Victor mengenalkan Amelia pada saya Superliga di Surabaya Februari 2013 lalu, saya sangat yakin mereka serius," ungkap Wakil Sekretaris Jenderal PB PBSI Ahmad Budiarto, yang menghadiri pesta Jumat lalu.
Tak berhenti di situ, pada Sabtu (8/3) mendatang, pernikahan Victor dan Amelia bakal diadakan di Semarang, di mana keluarga dan relasi Grup Djarum berpusat.
Sebetulnya hubungan Victor dan Amelia telah banyak diperkirakan publik akan berakhir di pelaminan. Sayangnya, kisah privasi keturunan keluarga konglomerat ini selalu tertutup rapat. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak keluarga kedua mempelai.
"Mohon maaf ya, semua masih sibuk. Kedua mempelai masih harus menemui kolega dan keluarga," ujar salah seorang panitia.
Pesta Pernikahan Victor Hartono, Putra Pertama Konglomerat Grup Djarum
Resepsi pernikahan Victor Hartono dan Amelia Santoso di Hotel Indonesia Kempinski, tadi malam (1/3) begitu mewah dan glamour. Maklum, kedua mempelai merupakan putra-putri konglomerat Indonesia.
HENNY GALLA- Jakarta
Ada yang berbeda di jantung ibu kota akhir pekan kemarin (1/3). Di tengah ramainya Jalan M.H. Thamrin, ratusan karangan bunga warna-warni ungkapan kebahagiaan berderet di sepanjang kompleks Hotel Indonesia Kempinski.
Kemeriahaan tak hanya terasa di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI). Namun aura glamor makin nampak di Ballroom Lt 11 HI Kempinski. Begitu masuk ke dalam koridor ballroom, wangi ribuan buket mawar putih dan ungu sangat semerbak.
Sementara di ruangan utama, nuansa musim dingin makin kental dengan ornamen dedaunan oak yang tertutup salju. Cahaya lampu biru keunguan juga menambah kesejukan. Di sudut depan ruangan, terdapat podium yang sangat luas. Di atasnya kursi pelaminan bernuansa krem, dengan kue tart setinggi dua meter di sisi kirinya.
Ide awalnya tema pernikahan di Dubai. Namun kami beri sentuhan lain supaya lebih spesial dan berbeda," ungkap salah satu panitia yang enggan disebut namanya kepada Jawa Pos.
Ya, tadi malam merupakan salah satu resepsi pernikahan Victor Hartono dengan Amelia Santoso. Victor adalah chief operating officer PT Djarum, yang tak lain adalah putra sulung orang terkaya di Indonesia, Robert Budi Hartono, sang pembangun imperium bisnis rokok Djarum Kudus. Sementara itu, Amelia Santoso merupakan putri dari Benny Setiawan Santoso. Benny termasuk orang penting di gurita bisnis Grup Salim. Posisi yang diduduki Benny kini, salah satunya, sebagai komisaris PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Tak heran jika pesta pernikahan yang menggabungkan dua raksasa bisnis itu sangat mewah dan glamor. Persiapan pesta sudah dilakukan sejak siang hari. Di mana tak kurang dari seratus kru pesta dikerahkan untuk menata lampu-lampu, bunga-bunga, hingga makanan yang mengunggulkan cita rasa Indonesia. Seperti pindang kudus, nasi jamblang, serta udang galah.
Kesibukan persiapan itu harus diselesaikan tepat sebelum pukul tujuh malam. Agar pesta resepsi berlangsung kondusif, maka di dua pintu masuk ballroom dijaga ketat puluhan sekuriti yang melakukan pemindaian undangan. Ribuan pria berjas hitam dan perempuan dengan gaun-gaun gemerlap pun masuk dan menyambut kedatangan Victor dan Amelia.
Usai itu, tampak para tamu undangan memadati ruangan seluas 2.700 meter persegi itu. Selain menikmati menu-menu yang disajikan tak kunjung henti, para tamu juga dihibur pertunjukan sirkus di panggung seluas 100 meter persegi. Tak hanya atraksi, sirkus yang didatangkan dari luar negeri itu juga menghibur undangan dengan nyanyian dan gaya ala Elvis Presley, hingga musik modern seperti lagu Applause milik Lady Gaga.
Sementara itu tamu undangan lain mengerumuni panggung sirkus, tampak di sisi kanan ballroom adalah tempat para undangan VIP. Dalam segmen itu, setidaknya disediakan 200 kursi yang mengitari 20 meja bundar.
Terlihat anggota keluarga Grup Salim, seperti Anthony Salim yang berada di lingkaran meja terdepan. Sedangkan petinggi anak perusahaan Grup Djarum, seperti Presiden Direktur Bank BCA Jahja Setiaatmadja hingga Komisaris Independen Bank BCA Raden Pardede asyik bercanda dengan tamu VIP lainnya.
Salah satu tamu VIP yang datang dari kalangan pemerintah malam itu adalah Menteri Perindustrian M.S. Hidayat. "Pernikahannya begitu megah!," M.S. ungkap Hidayat kepada Jawa Pos, lantas masuk ke area undangan VIP.
Selain Hidayat, kalangan pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tampak Di antaranya Direktur Utama PT Garuda Indonesia (persero) Tbk Emirsyah Satar. ‚
"Saya kenal dekat dengan ayah Victor (Budi Hartono, Red). Terus terang, kami sangat bahagia bisa menjadi salah satu saksi pesta pernikahan ini," tuturnya.
Lantaran ada keperluan lain, Emirsyah tak cukup lama menghadiri pesta tersebut. Hanya sekitar 15 menit setelah pesta dibuka.
Sejatinya resepsi tadi malam bukan yang pertama. Sebab, rangkaian pesta pernikahan Victor dan Amelia dilakukan sampai lima kali di dua tempat yang berbeda. Pesta pertama digelar pada Sabtu (22/2) pekan lalu, yang mengundang banyak kolega dan teman-teman Victor.
"Saya datang hari itu, sepertinya khusus untuk teman-teman yang masih tergolong muda," jelas Michael Hermawan,
deputy CEO MarkPlus Inc, yang tak lain putra sulung Hermawan Kartajaya, melalui pesan pendek.
Kemudian, pada Jumat (28/2) juga digelar pesta yang mengundang segmen umum. Di antaranya petinggi organisasi atau komunitas olahraga yang ditekuni Victor. Seperti diketahui, kecintaannya pada bulu tangkis membuat pria lulusan University of California ini juga fokus sebagai Presiden Direktur Djarum Foundation.
Saat Victor mengenalkan Amelia pada saya Superliga di Surabaya Februari 2013 lalu, saya sangat yakin mereka serius," ungkap Wakil Sekretaris Jenderal PB PBSI Ahmad Budiarto, yang menghadiri pesta Jumat lalu.
Tak berhenti di situ, pada Sabtu (8/3) mendatang, pernikahan Victor dan Amelia bakal diadakan di Semarang, di mana keluarga dan relasi Grup Djarum berpusat.
Sebetulnya hubungan Victor dan Amelia telah banyak diperkirakan publik akan berakhir di pelaminan. Sayangnya, kisah privasi keturunan keluarga konglomerat ini selalu tertutup rapat. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak keluarga kedua mempelai.
"Mohon maaf ya, semua masih sibuk. Kedua mempelai masih harus menemui kolega dan keluarga," ujar salah seorang panitia.
Langganan:
Postingan (Atom)